Powered By Blogger

Sunday, 9 April 2017

Makalah Tentang Pedagang Kaki Lima

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang
Kebijakan publik merupakan segala hal yang diputuskan oleh pemerintah daerah. Definisi ini menunjukkan bagaimana pemerintah daerah memiliki otoritas untuk membuat kebijakan yang bersifat mengikat. Dalam proses pembuatan Idealnya proses pembuatan kebijakan hasil dari dialog antara masyarakat dengan pemerintah daerah. Sehingga kebijakan tidak bersifat satu arah. Kebijakan bisa dibilang merupakan sebuah aturan dari pemerintah daerah yang harus di ikuti oleh siapapun tanpa terkecuali, kebijakan tersebut diberlakukan agar terciptanya suatu peraturan yang dapat membuat masyarakat ikut patuh terhadap kebijakan yang sudah dibuat. Di dalam menyusun perencanaan kota pada umumnya di Indonesia seringkali hanya melihat pada kegiatan – kegiatan formal saja. Pengambil kebijakan, dalam hal ini Pemerintah daerah menyusun rencana tata lahan, bangunan dan lingkungan hanya untuk kegiatan formal, seperti kawasan perumahan,perdagangan, industri dan sebagainya. Sehubungan dengan adanya sebuah kebijakan pasti tidak terlepas dari adanya sebuah pro dan kontra yang terjadi, apalagi yang kita ketahui kebijakan pemerintah daerah mengenai para pedagang kaki lima yang semakin lama semakin banyak. Di setiap daerahpun pasti mempunyai persolannya tersendiri terkait para pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima adalah merupakan pihak yang paling merasakan dampak dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah terutama kebijakan tentang ketertiban dan keindahan kota.
Pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjajahan dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga "kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya. Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintah daerahan Belanda pada waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar luas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter.Keberadaan PKL merupakan suatu realita saat ini, bersamaaan dengan tumbuh dan berkembangnya geliat perekonomian di suatu kota. Hak-hak mereka untuk mendapatkan rejeki yang halal di tengah sulitnya mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan harapan tentunya tidak bisa dikesampingkan. Kehadiran mereka bermanfaat bagi masyarakat luas terutama bagi yang sering memanfaatkan jasanya. Namun keberadaanpedagang kaki lima memunculkan permasalahan sosial dan lingkungan berkaitan dengan masalah kebersihan, keindahan dan ketertiban suatu kota.Ruang-ruang publik yang seharusnya merupakan hak bagi masyarakat umum untuk mendapatkan kenyamanan baik untuk berolah raga, jalan kaki maupun berkendara menjadi terganggu. Tidak dapat dipungkiri bila saat ini banyak kualitas ruang kota kita semakin menurun dan masih jauh dari standar minimum sebuah kota yang nyaman, terutama pada penciptaan maupun pemanfaatan ruang terbuka yang kurang memadai. Memang persoalan kaum pinggiran di berbagai kota menjadi persoalan yang dilematis. Di satu sisi pemerintah daerah kota bertanggungjawab atas warganya dalam persoalan kesejahteraan. Di sisi lain, pemerintah daerah membutuhkan wajah kota yang indah, bersih, dan tertata sebagai tuntutan ruang kota yang sehat. Dari pilihan antara tata ruang kota dan kesejahteraan warganya tersebut, Pemerintah daerah lebih memilih untuk mengambil sikap yang kedua, yakni pentingnya mengembalikan ketertiban dan keindahan kota. Maka, konsekuensi dari pilihan tersebut adalah dengan menertibkan dan menata para PKL (skripsi Bambang Budiman).
Dengan mempertimbangkan bahwa pengembangan sektor informal yang tepat akan menyerap banyak tenaga kerja, disamping dapat menurunkan kualitas lingkungan di suatu wilayah, maka sudah seharusnya Pemerintah daerah memberikan perhatian secara khusus terhadap perkembangan pedagang kaki lima dan memberikan mereka fasilitas yang memadai. Dengan demikian diharapkan pengembangan sektor informal ini akan menjadi salah satu pengaman bagi golongan masyarakat marginal untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan tidak merugikan lingkungan. Problematika PKL ini akan terus menjadi pekerjaan rumah pemerintah daerah dari waktu ke waktu.
Pada saat ini kita ketahui bahwa Kota Pekanbaru adalah ibukota Propinsi Riau. Bagi sebagian orang kota ini merupakan salah satu kota masa depan di Pulau Sumatera. Asumsi itu diangkat mengingat letaknya berada dalam sebuah jalur perdagangan padat di Asia Tenggara. Pekanbaru menjadi magnet yang sangat kuat bagi seluruh penduduk Riau untuk bermigrasi ke kota ini. Sekalipun tata kotanya belum secantik kota-kota lainnya, tata kota Pekanbaru sebenarnya cukup menarik untuk diperhatikan dan dapat menarik banyak wisatawan untuk datang ke Pekanbaru. Perkembangan Kota Pekanbaru sudah sangat pesat yang sudah pasti banyak memberikan dampak yang positif maupun negatif. Salah satu dampak negatifnya yaitu menjamurnya masyarakat yang memilki pekerjaan pada sektor informal, bertambahnya angka pengangguran serta kemiskinan dan juga berubahnya tata ruang kota. Mayoritas mata pencaharian masyarakat Pekanbaru yaitu pada sektor perdagangan, dan termasuk juga pedagang kaki lima. Ini dilihat dari banyaknya jumlah pedagang kaki lima yang tersebar di berbagai wilayah Kota Pekanbarutermasuk salah satunya di Kec. Tampan, disini terdapat banyak sekali para pedagang yang berjualan yang menempati tempat-tempat yang sudah ditentukan oleh pemerintah daerah namun ada juga para pedagang yang berjualan tidak sesuai pada tempatnya atau para pedagang yang berjualan ditempat yang bisa menggangu masyarakat ataupun pengguna jalan lainnya seperti di trotoar.


1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan
1.      Pengertian pedagang kaki lima?
2.      Masalah keberadaan pedagang kaki lima?
3.      Apa sajakah kebijakan– kebijakan yang dibuat pemerintah daerah daerah untuk menangani masalah Pedagang Kaki Lima itu?
4.      Persepsi masyarakat terhadap PKL?
5.      Dampak positif dari hadirnya PKL?
6.      Dampak negatif dari hadirnya PKL?
7.      Perlindungan hukum?


1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahn yang telah dirumuskan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu :
1.      Menganalisis Bagaimana Implementasi Kebijakan Pemerintah daerah Daerah Dalam Mengelola Pedagang Kaki Lima (PKL) Di Kota Pekanbaru?
2.      Menganalisis Bagaimana masalah kerberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) Di Kota Pekanbaru?
3   Menganalisis bagaimana presepsi masyarakat terhadap pedagang kaki       lima(pkl) di kota pekanbaru
4   menganalisis bagaimana dampak positif dan negatif hadirnya pkl di kota pekanbaru

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Untuk penulis/diri sendiri
Untuk dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta dapat mengaplikasikan dan mensosialisasikan teori yang telah diperoleh selama perkuliahan.
2. Tempat dimana penelitian
Menjadi bahan masukan bagi para pegawai untuk dapat melaksanakantugasnya dengan baik lagi serta sebagai informasi bagi instansi terkait.
3. Untuk referensi pustaka/penelitian
Sebagai referensi pustaka dan sebagai referensi bagi penelitian berikutnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Konsep Teori
        Berdasarkan model implementasi yang dikemukakan oleh Edward dan Van Meter Van Horn salah satu faktor keberhasilan implementasi kebijakan adalah adanya komunikasi yang efektif dalam pelaksanaan kebijakan. Komunikasi yang dimaksud yaitu komunikasi yang terjadi antar organisasi pelaksana maupun antara organisasi pelaksana dengan masyarakat sebagai penerima kebijakan. Dalam penelitian ini penulis hanya menyoroti komunikasi antara organisasi pelaksana kepada masyarakat sebagai obyek dan subyek dari implementasi kebijakan yang dalam komunikasi itu dapat diartikan sebagai sosialisasi. Jadi sosialisasi merupakan salah satu cara untuk menyampaikan informasi tentang suatu program atau kebijakan yang akan dilaksanakan pada masyarakat. Jadi dari variabel komunikasi tersebut penulis pilih untuk diturunkan menjadi variabel sosialisasi.
Menurut Sabitier dan Mazmanian dengan Anderson variabel yang mempengaruhi proses implementasi yaitu dukungan atau kesadaran dari masyarakat penerima program. Implementasi akan berhasil jika mendapat dukungan penuh dari masyarakat untuk memperoleh dukungan tersebut perlu ditumbuhkan kesadaran dalam masyarakat mengenai arti penting dan manfaat langsung yang diterima masyarakat dari implementasi kebijakan tersebut supaya mereka memberikan dukungannya terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut.
Sosialisasi berkaitan dengan kegiatan penyampaian informasi khususnya yang dilakukan Oleh karena itu masyarakat perlu mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan program tersebut supaya masyarakat dapat meresponya dengan baik. Begitu juga yang terjadi dalam program relokasi pedagang, apakah karena kurang efektif
dalam menyampaikan informasi tentang program yang menyebabkan pelaksanaan program mengalami hambatan. Dalam penelitian ini kegiatan sosialisasi yang dilakukan aparat dari pihak kecamatan kepada para PKL adalah dengan melalui operasi yustisi dan memasang tanda larangan untuk tidak menggelar dagangannya ditempat-tempat yang dilarang. Soekanto (1986:112 ) mendefinisikan kesadaran masyarakat sebagai berikut ”Kesadaran masyarakat merupakan kesadaran manusia dan tindak lain terhadapnya dan terhadap berbagai jenis perilaku hal ini mencakup pengakuan terhadap fakta bahwa pihak lain bereaksi terhadap obyek dan situasi yang sama serta dengan perbedaan atau persamaan antara reaksi mereka dan reaksinya”. Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tahap-tahap pengembangan kesadaran dapat dimengerti sebagai perubahan tingkah laku yang berkembang dan selalu dinamis. Kesadaran yang tinggi sangat diperlukan dalam keberhasilan implementasi program relokasi pedagang kaki lima ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan pedagang sehingga dapat mengurangi angka kemiskinan.


BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Pedagang Kaki Lima
Pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga “kaki” gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya.
Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintah daerahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar luas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter.
Dari hasil penelitian oleh soedjana (1981) secara spesifik yang di maksud pedagang kaki lima adalah sekelompok orang yang menawarkan barang dan jasa untuk di jual diatas trotoar atau tepi/ di pinggir jalan, di sekitar pusat perbelanjaan /pertokoan,pusat rekreasi atau hiburan, pusat perkantoran dan pusat pendidikan, baik secara menetap ataupun tidak menetap, berstatus tidak resmi atau setengah resmi dan dilakukan baik pagi, siang, sore maupun malam hari.
Dari segi ekonomi tentunya jelas dapat dilihat bahwa dengan adanya PKL dapat diserap tenaga kerja yang dapat membantu pekerja tersebut dalam mendapatkan penghasilan. Dari segi sosial dapat dilihat jika kita rasakan bahwa keberadaan PKL dapat menghidupkan maupun meramaikan suasana. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri, selain itu dalam segi budaya, PKL membantu suatu kota dalam menciptakan budayanya sendiri.

3.2  Masalah Keberadaan Pedagang Kaki Lima
PKL keberadaannya memang selalu dipermasalahkan oleh pemerintah daerah karena ada beberapa alasan, yaitu diantaranya:
  1. Penggunaan ruang publik oleh PKL bukan untuk fungsi semestinya karena dapat membahayakan orang lain maupun PKL itu sendiri.
  2. PKL membuat tata ruang kota menjadi kacau.
  3. Keberadaan PKL tidak sesuai dengan visi kota yaitu yang sebagian besar menekankan aspek kebersihan, keindahan dan kerapihan kota.
  4. Pencemaran lingkungan yang sering dilakukan oleh PKL.
  5. PKL menyebabkan kerawanan sosial.
Kemungkinan terjadinya persaingan tidak sehat antara pengusaha yang membayar pajak resmi dengan pelaku ekonomi informal yang tidak membayar pajak resmi (walaupun mereka sering membayar ”pajak tidak resmi”), contohnya ada dugaan bahwa pemodal besar dengan berbagai pertimbangan memilih melakukan kegiatan ekonominya secara informal dengan menyebarkan. Berkembangnya PKL dipicu oleh gagalnya pemerintah daerah membangun ekonomi yang terlihat dari rendah dan lambatnya pertumbuhan ekonomi, tidak berkembangnya usaha –usaha di sektor riil yang pada akhirnya menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran yang sampai saat ini diprediksi kurang lebih 40 juta penduduk sedang menganggur yang menjadi perhatian kita, Seandainya pemerintah daerah punya komitmen yang kuat dalam mensejahterakan masyarakatnya harus menyiapkan dana khusus sebagai jaminan PKL yang digusur untuk memulai usaha baru ditempat lain.Mengingat PKL yang digusur biasanya tanpa ada ganti rugi karena dianggap illegal.
Bagaimanapun juga PKL adalah juga warga negara yang harus dilindungi hak-haknya, hak untuk hidup, bebas berkarya, berserikat dan berkumpul. Seperti tercantum dalam UUD 45  Pasal 27 ayat (2): Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan  Pasal 13 UU nomor 09/1995 tentang usaha kecil : Pemerintah daerah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perlindungan, dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk: Menentukan  peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat, dan lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima, serta lokasi lainnya. Memberikan  bantuan konsultasi hukum dan pembelaan.
Contoh kasus penanganan pedagang kaki lima di pekanbaru (PKL sudirman).

3.3 Kebijakan Pemerintah daerah Dalam Menangani Masalah PKL
Fenomena PKL dan masalah – masalah yang ditimbulkan PKL seperti yang telah diuraikan di atas, dianggap menyulitkan dan menghambat pemerintah daerah untuk mewujudkan sebuah kota yang bersih dan tertib salah satunya, walaupun pemerintah daerah telah membuat kebijakan Perda untuk melarang keberadaan PKL, faktanya jumlah PKL malah semakin banyak. Dan tentu kebijakan Perda tersebut memenuhi banyak kontra dari para PKL karena kebijakan pemerintah daerah itu dianggap tidak tepat, tidak adil dan merugikan para PKL  Kemudian yang menambah daftar panjang permasalahan PKL ini adalah pendekatan yang dilakukan pemerintah daerah dalam praktiknya banyak menggunakan kekerasan. Pendekatan kekerasan yang akan dilakukan pemerintah daerah justru akan menjadi boomerang bagi pemerintah daerah itu sendiri, sehingga akan timbul ketidakstabilan, anarkisme dan ketidaktentraman yang dampaknya justru akan menurunkan citra pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan , yang paling menarik menurut kami dari adanya permasalahan PKL ini adalah karena PKL menjadi sebuah dilema tersendiri bagi pemerintah daerah.
Di satu sisi PKL sering mengganggu tata ruang kota, disisi lain PKL menjalankan peran sebagai Shadow Economiy. Kita juga harus melihat bahwa PKL memiliki beberapa segi positif, salah satunya adalah memberikan kemudahan mendapatkan barang dengan harga terjangkau. Apabila Indonesia ingin bebas dari PKL maka pemerintah daerah harus memberikan lapangan pekerjaan yang layak dan lebih baik kepada para PKL tersebut, dan juga memberikan alternatif tempat membeli barang dengan harga yang murah khususnya pada warga golongan menengah bawah. Apabila masyarakat dipaksakan untuk membeli barang yang harganya lebih tinggi daripada membeli di PKL maka daya beli masyarakat akan berkurang dan akan merembet pada bidang lain terutama kesehatan dan pendidikan.
Apabila kita berbicara mengenai kebijakan – kebijakan yang dibuat pemerintah daerah pasti mempunyai alas hak (aturan hukum) atau didasarkan pada asas legalitas, yaitu bahwa pemerintah daerah tunduk pada undang-undang.
Kebijakan publik mempunyai arti serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.
Berbicara  mengenai kebijakan pemerintah daerah berarti di sini adalah segala hal yang diputuskan pemerintah daerah. Definisi ini menunjukkan bagaimana pemerintah daerah memiliki otoritas untuk membuat kebijakan yang bersifat mengikat. Dalam proses pembuatan kebijakan terdapat dua model pembuatan, yang bersifat top-down dan bottom-up. Idealnya proses pembuatan kebijakan hasil dari dialog antara masyarakat dengan pemerintah daerah. Sehingga kebijakan tidak bersifat satu arah.
Kembali pada persolan pertama, bahwa pemerintah daerah dalam hal ini memiliki suatu kebijakan untuk menangani masalah PKL, yaitu suatu kebijakan yang melarang keberadaan PKL dengan dikeluarkannya Perda (Peraturan Daerah). Pemerintah daerah Kota/daerah mengeluarkan kebijakan yang isinya antara lain .
1)      Pedagang Kaki Lima dipindah lokasikan ke tempat yang telah disediakan berupa kios-kios.
2)      Kios kios tersebut disediakan secara gratis.
3)      Setiap kios setiap bulan ditarik retribusi
4)      Bagi Pedagang yang tidak pindah dalam jangka waktu 90 hari setelah keputusan ini dikeluarkan akan dikenakan sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dengan demikian, Pemerintah daerah kota menganggap kebijakan relokasi tersebut merupakan tindakan yang terbaik bagi PKL dan memudahkan PKL. Karena dengan adanya kios – kios yang disediakan pemerintah daerah, pedagang tidak perlu membongkar muat dagangannya. Selain itu, pemerintah daerah juga berjanji akan memperhatikan aspek promosi, pemasaran, bimbingan pelatihan, dan kemudahan modal usaha. Pemerintah daerah merasa telah melakukan hal yang terbaik dan bijaksana dalam menangani keberadaan PKL.
Pemerintah daerah Kota merasa telah melakukan yang terbaik bagi para PKL. Namun, Pasca relokasi tersebut, beberapa pedagang kaki lima yang diwadahi dalam suatu paguyuban melakukan berbagai aksi penolakan terhadap rencana relokasi ini. Kebijakan Relokasi ini tidak dipilih karena adanya asumsi bahwa ada kepentingan dalam kebijakan ini yaitu;
Pertama dalam membuat agenda kebijakannya pemerintah daerah cenderung bertindak sepihak sebagai agen tunggal dalam menyelesaikan persoalan. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak diikut sertakan atau dilibatkannya perwakilan pedagang kaki lima ke dalam tim yang ‘menggodok’ konsep relokasi. Tim relokasi yang selama ini dibentuk oleh Pemerintah daerah hanya terdiri dari Sekretaris Daerah, Asisten Pembangunan, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi, serta Dinas Pengelolaan Pasar.
Kedua adanya  perbedaan persepsi dan logika dalam memandang suatu masalah antara pemerintah daerah dengan pedagang kaki lima tanpa disertai adanya proses komunikasi timbal balik diantara keduanya. Dalam proses pembuatan kebijakan, Pemerintah daerah seringkali menggunakan perspektif yang teknokratis, sehingga tidak memberikan ruang terhadap proses negosiasi atau sharing informasi untuk menemukan titik temu antara dua kepentingan yang berbeda. Selama ini, pedagang kaki lima menganggap Pemerintah daerah Kota tidak pernah memberikan rasionalisasi dan sosialisasi atas kebijakan relokasi yang dikeluarkan, sehingga pedagang kaki lima curiga bahwa relokasi tersebut semata-mata hanya untuk keuntungan dan kepentingan Pemerintah daerah Kota atas proyek tamanisasi. Selain itu, tidak adanya sosialisasi tersebut mengakibatkan ketidak jelasan konsep relokasi yang ditawarkan oleh pemerintah daerah, sehingga pedagang kaki lima melakukan penolakan terhadap kebijakan relokasi.

3.4  Persepsi Masyarakat terhadap  PKL
Responden yang diperoleh dari wawancara menyatakan pendapat yang berbeda-beda. Diantaranya, ada masyarakat yang beranggapan bahwa keberadaan PKL di perkotaan bisa kita katakan tidak teratur, umunya mereka tidak tertib dan jorok karena mereka berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan dibadan jalan,sehingga menjadi/ penyebab kemacetan lalu lintas atau pun merusak keindahan kota.
3.5  Dampak Positif dari Hadirnya PKL
Pada umumnya barang-barang yang diusahakan PKL memiliki harga yang tidak tinggi, tersedia di banyak tempat, serta barang yang beragam, Sehingga PKL banyak menjamur di sudut-sudut kota, karena memang sesungguhnya pembeli utama adalah kalangan menengah kebawah yang memiliki daya beli rendah, Dampak positif terlihat pula dari segi sosial dan ekonomi karena keberadaan PKL menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi kota karena sektor informal memiliki karakteristik efisien dan ekonomis.Hal ini dikarenakan usaha-usaha sektor informal bersifat subsisten dan modal yang digunakan kebanyakan berasal dari usaha sendiri. Modal ini sama sekali tidak menghabiskan sumber daya ekonomi yang besar.
3.6  Dampak Negatif dari Hadirnya PKL
PKL mengambil ruang dimana-mana, tidak hanya ruang kosong atau terabaikan tetapi juga pada ruang yang jelas peruntukkannya secara formal. PKL secara illegal berjualan hampir di seluruh jalur pedestrian,ruang terbuka, jalur  hijau dan ruang kota lainnya. Alasannya karena aksesibilitasnya yang tinggi sehingga berpotensi besar untuk mendatangkan konsumen.
Akibatnya adalah kaidah-kaidah penataan ruang menjadi mati oleh pelanggaran-pelanggaran yang terjadi akibat keberadaan PKL tersebut. Keberadaan PKL yang tidak terkendali mengakibatkan pejalan kaki berdesak-desakan,  sehingga  dapat  timbul  tindak kriminal  (pencopetan) Mengganggu kegiatan ekonomi pedagang formal karena lokasinya yang cenderung memotong jalur pengunjung seperti pinggir jalan dan depan toko Dan  sebagian dari barang yang mereka jual tersebut mudah mengalami penurunan mutu yang berhubungan dengan kepuasan konsumen.
3.7  Perlindungan Hukum
Pasal 27 ayat (2) UUD 45: Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.  Pasal 13 UU nomor 09/1995 tentang usaha kecil. Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perlindunga, dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk, menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi dipasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat, dan lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima, sertalokasi lainnya. b. memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan.Dengan adanya beberapa ketentuan diatas, pemerintah dalam menyikapi fenomena adanya pedagang kaki lima, harus lebih mengutamakan penegakan keadilan bagi rakyat kecil. Walaupun didalam Perda K3 (Kebersihan, Keindahan, dan Ketertiban) terdapat pelarangan Pedagang Kaki Lima untuk berjualan di trotoar, jalur hijau, jalan, dan badan jalan, serta tempat-tempat yang bukan peruntukkannya
  
BAB IV
PENUTUP

4.1         Kesimpulan
1.      Pemerintah menghadapai suatu tantangan besar untuk mampu membuat kebijakan yang tepat untuk menangani masalah Pedagang Kaki Lima atau yang lebih kita kenal dengan nama PKL. Pemerintah dalam hal ini belum mampu menemukan solusi untuk menghasilkan kebijakan pengelolaan PKL yang bersifat manusiawi dan sekaligus efektif.
2.      PKL yang dianggap illegal, mengganggu ketertiban kota dan alasan –alasan lain yang mengharuskan pemerintah membuat suatu kebijakan melarang keberadaan PKL. Tetapi sebaiknya pemerintah tidak melihat PKL dari satu sisi saja, PKL juga telah memaikan peran sebagai pelaku shadow economy. PKL perlu diberdayakan guna memberikan kesejahteraan yang merata bagi masyarakat. PKL merupakan sebuah wujud kreatifitas masyarakat yang kurang mendapatkan arahan dari pemerintah. Oleh karena itu pemerintah perlu memberikan arahan pada mereka, sehingga PKL dapat melangsungkan usahanya tanpa menimbulkan kerugian pada eleman masyarakat yang lainnya.
3.      Melalui Peraturan Daerah yang jelas dan akuntabel maka permasalahan sosial seperti PKL dapat dihindarkan. Dengan adanya kebijakan – kebijakan alternatif yang baik untuk masyarakat (PKL) serta ruang partisipasi yang dibuka seluas – luasnya d, maka akan menimbulkan sinergi yang baik antara pemerintah dengan PKL dalam menghasilkan ataupun melaksanakan sebuah kebijakan. Jadi sebetulnya apapun kebijakan yang dibuat pemerintah, yang paling penting dan mendasar adalah mengenai kesejahtraan rakyat sebagaimana amanat Undang – Undang Dasar 1945 bahwa negara berkepentingan untuk mensejahtrakan rakyat yang dalam hal ini diwakilkan kepada pemerintah.

4.2         Saran
Penulis menyadari bahwa materi yang penulis jelaskan masih terdapat banyak kekurangan. Sehingga untuk mengetahui lebih luas tentang penanganan pedagang kaki lima dan kebijakan dari pemerintah, pembaca dapat memperoleh dari berbagai sumber lainnya, seperti buku, referensi, ataupun internet.


DAFTAR PUSTAKA
·         HR, Ridwan. 2006. Hukum Administrasi Negara. Pekanbaru: PT Raja Grafindo.
·         M. Irfan Islamy, ; 2004, Kebijakan Publik, , Pekanbaru: Universitas Terbuka.
·         http://ocktav-andrian.blogspot.com/2012/10/permasalahan-dari-pedagang-kaki-lima.html.
·         http://kolumnis.com/2008/05/12/pedagang-kaki-lima-dan-lapangan-kerja-jabar