BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Kebijakan publik merupakan segala hal
yang diputuskan oleh pemerintah daerah. Definisi ini menunjukkan bagaimana pemerintah
daerah memiliki otoritas untuk membuat kebijakan yang bersifat mengikat. Dalam
proses pembuatan Idealnya proses pembuatan kebijakan hasil dari dialog antara
masyarakat dengan pemerintah daerah. Sehingga kebijakan tidak bersifat satu
arah. Kebijakan bisa dibilang merupakan sebuah aturan dari pemerintah daerah
yang harus di ikuti oleh siapapun tanpa terkecuali, kebijakan tersebut
diberlakukan agar terciptanya suatu peraturan yang dapat membuat masyarakat
ikut patuh terhadap kebijakan yang sudah dibuat. Di dalam menyusun perencanaan
kota pada umumnya di Indonesia seringkali hanya melihat pada kegiatan –
kegiatan formal saja. Pengambil kebijakan, dalam hal ini Pemerintah daerah
menyusun rencana tata lahan, bangunan dan lingkungan hanya untuk kegiatan formal,
seperti kawasan perumahan,perdagangan, industri dan sebagainya. Sehubungan
dengan adanya sebuah kebijakan pasti tidak terlepas dari adanya sebuah pro dan
kontra yang terjadi, apalagi yang kita ketahui kebijakan pemerintah daerah
mengenai para pedagang kaki lima yang semakin lama semakin banyak. Di setiap
daerahpun pasti mempunyai persolannya tersendiri terkait para pedagang kaki lima.
Pedagang kaki lima adalah merupakan pihak yang paling merasakan dampak dari
berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah terutama kebijakan tentang
ketertiban dan keindahan kota.
Pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL
adalah istilah untuk menyebut penjajahan dagangan yang menggunakan gerobak.
Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima
kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga "kaki" gerobak
(yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini
istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya. Sebenarnya
istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintah
daerahan Belanda pada waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang
dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar luas untuk
pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter.Keberadaan PKL
merupakan suatu realita saat ini, bersamaaan dengan tumbuh dan berkembangnya
geliat perekonomian di suatu kota. Hak-hak mereka untuk mendapatkan rejeki yang
halal di tengah sulitnya mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan
harapan tentunya tidak bisa dikesampingkan. Kehadiran mereka bermanfaat bagi
masyarakat luas terutama bagi yang sering memanfaatkan jasanya. Namun
keberadaanpedagang kaki lima memunculkan permasalahan sosial dan lingkungan berkaitan
dengan masalah kebersihan, keindahan dan ketertiban suatu kota.Ruang-ruang
publik yang seharusnya merupakan hak bagi masyarakat umum untuk mendapatkan
kenyamanan baik untuk berolah raga, jalan kaki maupun berkendara menjadi
terganggu. Tidak dapat dipungkiri bila saat ini banyak kualitas ruang kota kita
semakin menurun dan masih jauh dari standar minimum sebuah kota yang nyaman, terutama
pada penciptaan maupun pemanfaatan ruang terbuka yang kurang memadai. Memang
persoalan kaum pinggiran di berbagai kota menjadi persoalan yang dilematis. Di
satu sisi pemerintah daerah kota bertanggungjawab atas warganya dalam persoalan
kesejahteraan. Di sisi lain, pemerintah daerah membutuhkan wajah kota yang
indah, bersih, dan tertata sebagai tuntutan ruang kota yang sehat. Dari pilihan
antara tata ruang kota dan kesejahteraan warganya tersebut, Pemerintah daerah
lebih memilih untuk mengambil sikap yang kedua, yakni pentingnya mengembalikan
ketertiban dan keindahan kota. Maka, konsekuensi dari pilihan tersebut adalah
dengan menertibkan dan menata para PKL (skripsi Bambang Budiman).
Dengan mempertimbangkan bahwa pengembangan
sektor informal yang tepat akan menyerap banyak tenaga kerja, disamping dapat
menurunkan kualitas lingkungan di suatu wilayah, maka sudah seharusnya Pemerintah
daerah memberikan perhatian secara khusus terhadap perkembangan pedagang kaki
lima dan memberikan mereka fasilitas yang memadai. Dengan demikian diharapkan pengembangan
sektor informal ini akan menjadi salah satu pengaman bagi golongan masyarakat
marginal untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan tidak merugikan lingkungan.
Problematika PKL ini akan terus menjadi pekerjaan rumah pemerintah daerah dari
waktu ke waktu.
Pada saat ini kita ketahui bahwa Kota Pekanbaru
adalah ibukota Propinsi Riau. Bagi sebagian orang kota ini merupakan salah satu
kota masa depan di Pulau Sumatera. Asumsi itu diangkat mengingat letaknya
berada dalam sebuah jalur perdagangan padat di Asia Tenggara. Pekanbaru menjadi
magnet yang sangat kuat bagi seluruh penduduk Riau untuk bermigrasi ke kota
ini. Sekalipun tata kotanya belum secantik kota-kota lainnya, tata kota Pekanbaru
sebenarnya cukup menarik untuk diperhatikan dan dapat menarik banyak wisatawan
untuk datang ke Pekanbaru. Perkembangan Kota Pekanbaru sudah sangat pesat yang sudah
pasti banyak memberikan dampak yang positif maupun negatif. Salah satu dampak
negatifnya yaitu menjamurnya masyarakat yang memilki pekerjaan pada sektor
informal, bertambahnya angka pengangguran serta kemiskinan dan juga berubahnya
tata ruang kota. Mayoritas mata pencaharian masyarakat Pekanbaru yaitu pada
sektor perdagangan, dan termasuk juga pedagang kaki lima. Ini dilihat dari banyaknya
jumlah pedagang kaki lima yang tersebar di berbagai wilayah Kota
Pekanbarutermasuk salah satunya di Kec. Tampan, disini terdapat banyak sekali
para pedagang yang berjualan yang menempati tempat-tempat yang sudah ditentukan
oleh pemerintah daerah namun ada juga para pedagang yang berjualan tidak sesuai
pada tempatnya atau para pedagang yang berjualan ditempat yang bisa menggangu masyarakat
ataupun pengguna jalan lainnya seperti di trotoar.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka permasalahan dalam
penelitian ini dapat dirumuskan
1. Pengertian
pedagang kaki lima?
2. Masalah
keberadaan pedagang kaki lima?
3. Apa sajakah
kebijakan– kebijakan yang dibuat pemerintah daerah daerah untuk menangani
masalah Pedagang Kaki Lima itu?
4. Persepsi
masyarakat terhadap PKL?
5. Dampak
positif dari hadirnya PKL?
6. Dampak
negatif dari hadirnya PKL?
7. Perlindungan
hukum?
1.3
Tujuan Penelitian
Sesuai
dengan pokok permasalahn yang telah dirumuskan diatas, maka tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini, yaitu :
1. Menganalisis
Bagaimana Implementasi Kebijakan Pemerintah daerah Daerah Dalam Mengelola Pedagang Kaki
Lima (PKL) Di Kota Pekanbaru?
2. Menganalisis
Bagaimana masalah kerberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) Di Kota Pekanbaru?
3 Menganalisis bagaimana presepsi masyarakat terhadap pedagang
kaki lima(pkl) di kota pekanbaru
4 menganalisis bagaimana dampak positif dan negatif hadirnya pkl di
kota pekanbaru
1.4
Manfaat Penelitian
Manfaat
dari penelitian ini adalah:
1.
Untuk penulis/diri sendiri
Untuk dapat
menambah wawasan dan pengetahuan serta dapat mengaplikasikan dan
mensosialisasikan teori yang telah diperoleh selama perkuliahan.
2.
Tempat dimana penelitian
Menjadi bahan
masukan bagi para pegawai untuk dapat melaksanakantugasnya dengan baik lagi
serta sebagai informasi bagi instansi terkait.
3.
Untuk referensi pustaka/penelitian
Sebagai
referensi pustaka dan sebagai referensi bagi penelitian berikutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Teori
Berdasarkan model implementasi yang
dikemukakan oleh Edward dan Van Meter
Van Horn salah satu faktor keberhasilan implementasi kebijakan adalah adanya
komunikasi yang efektif dalam pelaksanaan kebijakan. Komunikasi yang dimaksud
yaitu komunikasi yang terjadi antar organisasi pelaksana maupun antara organisasi
pelaksana dengan masyarakat sebagai penerima kebijakan. Dalam penelitian
ini penulis hanya menyoroti komunikasi antara organisasi pelaksana kepada
masyarakat sebagai obyek dan subyek dari implementasi kebijakan yang dalam
komunikasi itu dapat diartikan sebagai sosialisasi. Jadi sosialisasi merupakan salah
satu cara untuk menyampaikan informasi tentang suatu program atau kebijakan
yang akan dilaksanakan pada masyarakat. Jadi dari variabel komunikasi tersebut
penulis pilih untuk diturunkan menjadi variabel sosialisasi.
Menurut Sabitier dan Mazmanian dengan
Anderson variabel yang mempengaruhi
proses implementasi yaitu dukungan atau kesadaran dari masyarakat penerima
program. Implementasi akan berhasil jika mendapat dukungan penuh dari masyarakat
untuk memperoleh dukungan tersebut perlu ditumbuhkan kesadaran dalam masyarakat
mengenai arti penting dan manfaat langsung yang diterima masyarakat dari
implementasi kebijakan tersebut supaya mereka memberikan dukungannya terhadap
pelaksanaan kebijakan tersebut.
Sosialisasi
berkaitan dengan kegiatan penyampaian informasi khususnya yang
dilakukan Oleh karena itu masyarakat perlu mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan
program tersebut supaya masyarakat dapat meresponya dengan baik. Begitu juga
yang terjadi dalam program relokasi pedagang, apakah karena kurang efektif
dalam menyampaikan informasi tentang
program yang menyebabkan pelaksanaan program mengalami hambatan. Dalam
penelitian ini kegiatan sosialisasi yang dilakukan
aparat dari pihak kecamatan kepada para PKL adalah dengan melalui operasi
yustisi dan memasang tanda larangan untuk tidak menggelar dagangannya ditempat-tempat
yang dilarang. Soekanto
(1986:112 ) mendefinisikan kesadaran masyarakat sebagai berikut ”Kesadaran
masyarakat merupakan kesadaran manusia dan tindak lain terhadapnya dan terhadap
berbagai jenis perilaku hal ini mencakup pengakuan terhadap fakta bahwa pihak
lain bereaksi terhadap obyek dan situasi yang sama serta dengan perbedaan atau
persamaan antara reaksi mereka dan reaksinya”. Penjelasan
di atas dapat disimpulkan bahwa tahap-tahap pengembangan kesadaran dapat
dimengerti sebagai perubahan tingkah laku yang berkembang dan selalu
dinamis. Kesadaran yang tinggi sangat diperlukan dalam keberhasilan implementasi
program relokasi pedagang kaki lima ini diharapkan dapat meningkatkan
pendapatan pedagang sehingga dapat mengurangi angka kemiskinan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Pedagang Kaki Lima
Pedagang Kaki Lima atau disingkat
PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah
itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki
tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga “kaki” gerobak (yang sebenarnya
adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini istilah PKL juga
digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya.
Sebenarnya istilah kaki lima berasal
dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintah
daerahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya
menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar luas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter.
Dari hasil penelitian oleh soedjana
(1981) secara spesifik yang di maksud pedagang kaki lima adalah sekelompok
orang yang menawarkan barang dan jasa untuk di jual diatas trotoar atau tepi/
di pinggir jalan, di sekitar pusat perbelanjaan /pertokoan,pusat rekreasi atau
hiburan, pusat perkantoran dan pusat pendidikan, baik secara menetap ataupun
tidak menetap, berstatus tidak resmi atau setengah resmi dan dilakukan baik
pagi, siang, sore maupun malam hari.
Dari segi ekonomi tentunya jelas
dapat dilihat bahwa dengan adanya PKL dapat diserap tenaga kerja yang dapat
membantu pekerja tersebut dalam mendapatkan penghasilan. Dari segi sosial dapat
dilihat jika kita rasakan bahwa keberadaan PKL dapat menghidupkan maupun
meramaikan suasana. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri, selain itu dalam
segi budaya, PKL membantu suatu kota dalam menciptakan budayanya sendiri.
3.2 Masalah Keberadaan Pedagang Kaki Lima
PKL keberadaannya memang selalu dipermasalahkan oleh pemerintah
daerah karena ada beberapa alasan, yaitu diantaranya:
- Penggunaan ruang publik oleh PKL bukan untuk
fungsi semestinya karena dapat membahayakan orang lain maupun PKL itu
sendiri.
- PKL membuat tata ruang kota menjadi kacau.
- Keberadaan PKL tidak sesuai dengan visi kota
yaitu yang sebagian besar menekankan aspek kebersihan, keindahan dan
kerapihan kota.
- Pencemaran lingkungan yang sering dilakukan oleh
PKL.
- PKL menyebabkan kerawanan sosial.
Kemungkinan terjadinya persaingan
tidak sehat antara pengusaha yang membayar pajak resmi dengan pelaku ekonomi
informal yang tidak membayar pajak resmi (walaupun mereka sering membayar
”pajak tidak resmi”), contohnya ada dugaan bahwa pemodal besar dengan berbagai
pertimbangan memilih melakukan kegiatan ekonominya secara informal dengan
menyebarkan. Berkembangnya PKL dipicu oleh gagalnya pemerintah daerah membangun
ekonomi yang terlihat dari rendah dan lambatnya pertumbuhan ekonomi, tidak
berkembangnya usaha –usaha di sektor riil yang pada akhirnya menyebabkan
meningkatnya jumlah pengangguran yang sampai saat ini diprediksi kurang lebih
40 juta penduduk sedang menganggur yang menjadi perhatian kita, Seandainya pemerintah
daerah punya komitmen yang kuat dalam mensejahterakan masyarakatnya harus
menyiapkan dana khusus sebagai jaminan PKL yang digusur untuk memulai usaha
baru ditempat lain.Mengingat PKL yang digusur biasanya tanpa ada ganti rugi
karena dianggap illegal.
Bagaimanapun juga PKL adalah juga
warga negara yang harus dilindungi hak-haknya, hak untuk hidup, bebas berkarya,
berserikat dan berkumpul. Seperti tercantum dalam UUD 45 Pasal 27 ayat (2): Tiap-tiap warga Negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan
Pasal 13 UU nomor 09/1995 tentang usaha kecil : Pemerintah daerah menumbuhkan
iklim usaha dalam aspek perlindungan, dengan menetapkan peraturan
perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk: Menentukan peruntukan tempat
usaha yang meliputi pemberian lokasi di pasar, ruang pertokoan, lokasi
sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat, dan
lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima, serta lokasi lainnya.
Memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan.
Contoh kasus penanganan pedagang kaki lima di pekanbaru
(PKL sudirman).
3.3 Kebijakan Pemerintah daerah
Dalam Menangani Masalah PKL
Fenomena PKL dan masalah – masalah yang ditimbulkan
PKL seperti yang telah diuraikan di atas, dianggap menyulitkan dan menghambat pemerintah
daerah untuk mewujudkan sebuah kota yang bersih dan tertib salah satunya,
walaupun pemerintah daerah telah membuat kebijakan Perda untuk melarang
keberadaan PKL, faktanya jumlah PKL malah semakin banyak. Dan tentu kebijakan
Perda tersebut memenuhi banyak kontra dari para PKL karena kebijakan pemerintah
daerah itu dianggap tidak tepat, tidak adil dan merugikan para PKL
Kemudian yang menambah daftar panjang permasalahan PKL ini adalah pendekatan
yang dilakukan pemerintah daerah dalam praktiknya banyak menggunakan kekerasan.
Pendekatan kekerasan yang akan dilakukan pemerintah daerah justru akan menjadi boomerang bagi pemerintah daerah itu
sendiri, sehingga akan timbul ketidakstabilan, anarkisme dan ketidaktentraman
yang dampaknya justru akan menurunkan citra pemerintah daerah sebagai pembuat
kebijakan , yang paling menarik menurut kami dari adanya permasalahan PKL ini
adalah karena PKL menjadi sebuah dilema tersendiri bagi pemerintah daerah.
Di satu sisi PKL sering mengganggu
tata ruang kota, disisi lain PKL menjalankan peran sebagai Shadow Economiy. Kita juga
harus melihat bahwa PKL memiliki beberapa segi positif, salah satunya adalah
memberikan kemudahan mendapatkan barang dengan harga terjangkau. Apabila
Indonesia ingin bebas dari PKL maka pemerintah daerah harus memberikan lapangan
pekerjaan yang layak dan lebih baik kepada para PKL tersebut, dan juga memberikan
alternatif tempat membeli barang dengan harga yang murah khususnya pada warga
golongan menengah bawah. Apabila masyarakat dipaksakan untuk membeli barang
yang harganya lebih tinggi daripada membeli di PKL maka daya beli masyarakat
akan berkurang dan akan merembet pada bidang lain terutama kesehatan dan
pendidikan.
Apabila kita berbicara mengenai
kebijakan – kebijakan yang dibuat pemerintah daerah pasti mempunyai alas hak
(aturan hukum) atau didasarkan pada asas legalitas, yaitu bahwa pemerintah
daerah tunduk pada undang-undang.
Kebijakan
publik mempunyai arti serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan
atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang mempunyai tujuan atau
berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.
Berbicara mengenai kebijakan pemerintah
daerah berarti di sini adalah segala hal yang diputuskan pemerintah daerah.
Definisi ini menunjukkan bagaimana pemerintah daerah memiliki otoritas untuk
membuat kebijakan yang bersifat mengikat. Dalam proses pembuatan kebijakan
terdapat dua model pembuatan, yang bersifat top-down dan bottom-up.
Idealnya proses pembuatan kebijakan hasil dari dialog antara masyarakat dengan pemerintah
daerah. Sehingga kebijakan tidak bersifat satu arah.
Kembali pada persolan pertama, bahwa
pemerintah daerah dalam hal ini memiliki suatu kebijakan untuk menangani masalah
PKL, yaitu suatu kebijakan yang melarang keberadaan PKL dengan dikeluarkannya
Perda (Peraturan Daerah). Pemerintah daerah Kota/daerah mengeluarkan kebijakan
yang isinya antara lain .
1) Pedagang Kaki Lima
dipindah lokasikan ke tempat yang telah disediakan berupa kios-kios.
2) Kios kios tersebut
disediakan secara gratis.
3) Setiap kios setiap
bulan ditarik retribusi
4) Bagi Pedagang yang
tidak pindah dalam jangka waktu 90 hari setelah keputusan ini dikeluarkan akan
dikenakan sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dengan demikian, Pemerintah daerah kota menganggap
kebijakan relokasi tersebut merupakan tindakan yang terbaik bagi PKL dan
memudahkan PKL. Karena dengan adanya kios – kios yang disediakan pemerintah
daerah, pedagang tidak perlu membongkar muat dagangannya. Selain itu, pemerintah
daerah juga berjanji akan memperhatikan aspek promosi, pemasaran, bimbingan
pelatihan, dan kemudahan modal usaha. Pemerintah daerah merasa telah melakukan
hal yang terbaik dan bijaksana dalam menangani keberadaan PKL.
Pemerintah
daerah Kota merasa telah melakukan yang terbaik bagi para PKL. Namun, Pasca
relokasi tersebut, beberapa pedagang kaki lima yang diwadahi dalam suatu
paguyuban melakukan berbagai aksi penolakan terhadap rencana relokasi ini.
Kebijakan Relokasi ini tidak dipilih karena adanya asumsi bahwa ada kepentingan
dalam kebijakan ini yaitu;
Pertama
dalam membuat agenda kebijakannya pemerintah daerah cenderung bertindak sepihak
sebagai agen tunggal dalam menyelesaikan persoalan. Hal tersebut dapat dilihat
dari tidak diikut sertakan atau dilibatkannya perwakilan pedagang kaki lima ke
dalam tim yang ‘menggodok’ konsep relokasi. Tim relokasi yang selama ini
dibentuk oleh Pemerintah daerah hanya terdiri dari Sekretaris Daerah, Asisten
Pembangunan, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi, serta Dinas
Pengelolaan Pasar.
Kedua
adanya perbedaan persepsi dan logika dalam memandang suatu masalah antara
pemerintah daerah dengan pedagang kaki lima tanpa disertai adanya proses komunikasi
timbal balik diantara keduanya. Dalam proses pembuatan kebijakan, Pemerintah
daerah seringkali menggunakan perspektif yang teknokratis, sehingga tidak
memberikan ruang terhadap proses negosiasi atau sharing informasi untuk
menemukan titik temu antara dua kepentingan yang berbeda. Selama ini, pedagang
kaki lima menganggap Pemerintah daerah Kota tidak pernah memberikan
rasionalisasi dan sosialisasi atas kebijakan relokasi yang dikeluarkan,
sehingga pedagang kaki lima curiga bahwa relokasi tersebut semata-mata hanya
untuk keuntungan dan kepentingan Pemerintah daerah Kota atas proyek tamanisasi.
Selain itu, tidak adanya sosialisasi tersebut mengakibatkan ketidak jelasan
konsep relokasi yang ditawarkan oleh pemerintah daerah, sehingga pedagang kaki
lima melakukan penolakan terhadap kebijakan relokasi.
3.4
Persepsi Masyarakat terhadap PKL
Responden yang diperoleh dari wawancara menyatakan
pendapat yang berbeda-beda. Diantaranya, ada masyarakat yang beranggapan
bahwa keberadaan PKL di perkotaan bisa kita katakan tidak teratur,
umunya mereka tidak tertib dan jorok karena mereka berjualan di trotoar jalan,
di taman-taman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan dibadan jalan,sehingga
menjadi/ penyebab kemacetan lalu lintas atau pun merusak keindahan kota.
3.5 Dampak Positif dari Hadirnya PKL
Pada umumnya barang-barang yang diusahakan PKL
memiliki harga yang tidak tinggi, tersedia di banyak tempat, serta barang yang
beragam, Sehingga PKL banyak menjamur di sudut-sudut kota, karena memang
sesungguhnya pembeli utama adalah kalangan menengah kebawah yang memiliki daya
beli rendah, Dampak positif terlihat pula dari segi sosial dan ekonomi karena
keberadaan PKL menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi kota karena sektor
informal memiliki karakteristik efisien dan ekonomis.Hal ini dikarenakan
usaha-usaha sektor informal bersifat subsisten dan modal yang digunakan
kebanyakan berasal dari usaha sendiri. Modal ini sama sekali tidak menghabiskan
sumber daya ekonomi yang besar.
3.6
Dampak Negatif dari Hadirnya PKL
PKL mengambil ruang dimana-mana, tidak hanya ruang
kosong atau terabaikan tetapi juga pada ruang
yang jelas peruntukkannya secara formal. PKL secara illegal berjualan hampir di seluruh
jalur pedestrian,ruang
terbuka, jalur hijau dan ruang kota lainnya. Alasannya karena aksesibilitasnya
yang tinggi sehingga berpotensi besar untuk mendatangkan konsumen.
Akibatnya adalah
kaidah-kaidah penataan ruang menjadi mati oleh pelanggaran-pelanggaran yang terjadi akibat keberadaan PKL tersebut.
Keberadaan PKL yang tidak terkendali
mengakibatkan pejalan kaki berdesak-desakan, sehingga dapat timbul tindak kriminal (pencopetan) Mengganggu kegiatan ekonomi pedagang formal karena
lokasinya yang cenderung memotong jalur pengunjung seperti pinggir
jalan dan depan toko Dan sebagian dari
barang yang mereka jual tersebut mudah mengalami penurunan mutu yang
berhubungan dengan kepuasan konsumen.
3.7
Perlindungan Hukum
Pasal 27 ayat (2) UUD 45: Tiap-tiap warga Negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 13 UU nomor 09/1995 tentang usaha
kecil. Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perlindunga, dengan
menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk, menentukan
peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi dipasar, ruang
pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan
rakyat, dan lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima, sertalokasi lainnya. b.
memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan.Dengan adanya beberapa
ketentuan diatas, pemerintah dalam menyikapi fenomena adanya pedagang kaki
lima, harus lebih mengutamakan penegakan keadilan bagi rakyat kecil. Walaupun
didalam Perda K3 (Kebersihan, Keindahan, dan Ketertiban) terdapat pelarangan
Pedagang Kaki Lima untuk berjualan di trotoar, jalur hijau, jalan, dan
badan jalan, serta tempat-tempat yang bukan peruntukkannya
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1.
Pemerintah
menghadapai suatu tantangan besar untuk mampu membuat kebijakan yang tepat
untuk menangani masalah Pedagang Kaki Lima atau yang lebih kita kenal dengan
nama PKL. Pemerintah dalam hal ini belum mampu menemukan solusi untuk
menghasilkan kebijakan pengelolaan PKL yang bersifat manusiawi dan sekaligus
efektif.
2.
PKL yang
dianggap illegal, mengganggu ketertiban kota dan alasan –alasan lain yang
mengharuskan pemerintah membuat suatu kebijakan melarang keberadaan PKL. Tetapi
sebaiknya pemerintah tidak melihat PKL dari satu sisi saja, PKL juga telah
memaikan peran sebagai pelaku shadow
economy. PKL perlu diberdayakan guna memberikan kesejahteraan yang
merata bagi masyarakat. PKL merupakan sebuah wujud kreatifitas masyarakat yang
kurang mendapatkan arahan dari pemerintah. Oleh karena itu pemerintah perlu
memberikan arahan pada mereka, sehingga PKL dapat melangsungkan usahanya tanpa
menimbulkan kerugian pada eleman masyarakat yang lainnya.
3.
Melalui
Peraturan Daerah yang jelas dan akuntabel maka permasalahan sosial seperti PKL
dapat dihindarkan. Dengan adanya kebijakan – kebijakan alternatif yang baik
untuk masyarakat (PKL) serta ruang partisipasi yang dibuka seluas – luasnya d,
maka akan menimbulkan sinergi yang baik antara pemerintah dengan PKL dalam
menghasilkan ataupun melaksanakan sebuah kebijakan. Jadi sebetulnya apapun
kebijakan yang dibuat pemerintah, yang paling penting dan mendasar adalah
mengenai kesejahtraan rakyat sebagaimana amanat Undang – Undang Dasar 1945
bahwa negara berkepentingan untuk mensejahtrakan rakyat yang dalam hal ini
diwakilkan kepada pemerintah.
4.2 Saran
Penulis menyadari bahwa materi yang penulis jelaskan masih terdapat
banyak kekurangan. Sehingga untuk mengetahui lebih luas tentang penanganan
pedagang kaki lima dan kebijakan dari pemerintah, pembaca dapat memperoleh dari
berbagai sumber lainnya, seperti buku, referensi, ataupun internet.
DAFTAR PUSTAKA
·
HR, Ridwan. 2006. Hukum Administrasi
Negara. Pekanbaru: PT Raja Grafindo.
·
M. Irfan
Islamy, ; 2004, Kebijakan Publik, , Pekanbaru: Universitas
Terbuka.
·
http://ocktav-andrian.blogspot.com/2012/10/permasalahan-dari-pedagang-kaki-lima.html.
·
http://kolumnis.com/2008/05/12/pedagang-kaki-lima-dan-lapangan-kerja-jabar